TURONGGO TINITIHAN SESEKARING BAWONO |
Saya berpikir mengapa alun-alun ditulis sedemikian rupa? Bahasa apakah itu? Jawa? Indonesia? Tampaknya bukan. Belanda? Mungkin saja, sebab ada dobel huruf 'o', pikir saya menimpa kepala. Tapi supaya tidak terjebak dalam dugaan, maka saya coba tanya pada Mbah Gugel pujaan hati saya. Siapa tahu ada pencerahan, atau paling tidak bisa meredakan tanda tanya.
Salah satu sumber yang diambil dari http://ayobandung.com/read/2015/09/03/2401/alun-alun-sebutan-opsir-belanda-yang-tak-bisa-ingat-tempat mengatakan bahwa kata 'aloon' sebenarnya berawal dari jaman Belanda dimana para petugas pamong praja di sekitar tempat itu selalu mengatakan 'alon-alon' kepada para pemakai jalan termasuk pada para pejalan kaki. Dalam Bahasa Jawa, kata 'alon' berarti 'pelan', jadi maksud petugas jaman itu selalu mengatakan 'alon-alon' adalah supaya masyarakat berhati-hati saat melintas di tempat itu. Sebab, biasanya ditempat itu dipadati masyarakat yang mengikuti perhelatan-perhelatan besar seperti pesta rakyat, pasar malam, pentas seni dan lain sebagainya. Nah, lucunya, para opsir Belanda mendengar kata 'alon-alon' sebagai 'alun-alun' yang jika dipaksakan untuk ditulis ke dalam Bahasa Belanda akan menjadi 'aloon-aloon'.
Sementara KRT. Puspodiningrat (1984:2) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun mengatakan bahwa kata 'alun' berarti gelombang. Dengan demikian kata 'alun-alun' dapat kita artikan sebagai pusat gelombang atau pusaran yang menggerakkan manusia dalam samudera masyarakat. Memang di tempat itu seringkali masyarakat berkumpul dalam jumlah yang banyak, sehingga secara fisik terlihat seperti gelombang di lautan.
Kembali ke alun-alun magelang. Akhirnya saya pun sampai di sana, sambil mengingat-ingat masa SMA saya puluhan tahun lalu, tidak begini wajahnya. Dahulu, alun-alun Magelang terkesan agak kotor dan kurang terurus, sekarang begitu lapang, terang, bersih dan lumayan nyaman. Di sebelah timur menara air PDAM sekarang terdapat pusat jajanan. Saya pun tak ketinggalan ikut meramaikan, sekedar melihat-lihat dan kalau cocok, ikut mencicipi. Ada mie ayam, kupat tahu, bakso, siomay, soto, ramesan, ada pula aneka minuman hangat dan dingin. Harganya sangat murah berkisar antara 8.ooo rupiah hingga 10 ribu rupiah. Dan yang menarik, di pusat jajanan alun-alun Magelang disediakan wifi gratis, saya pun sempat mencoba dan memang berjalan dengan baik bahkan dengan kecepatan yang cukup memadai.
Di tengah alun-alun Magelang terdapat pohon beringin yang cukup tua. Saya rasa, dahulupun sudah ada dan sudah cukup besar waktu saya masih SMA. Jadi mungkin sudah berusia tiga puluhan tahun. Di sekitar beringin terdapat aneka mainan anak-anak seperti mobil bertenaga aki yang bisa disewa per jam dengan harga tertentu (sayang anak saya belum sempat mencoba). Ada juga persewaan sepeda kayuh anak, dan lain sebagainya.
Pada bagian timur alun-alun Magelang terdapat patung putih Pangeran Diponegoro menunggang kuda. Sungguh gagah! Patung itu masih indah seperti dulu. Wajah si penunggang begitu memancarkan aura semangat perjuangan. Jari telunjuk mengarah ke timur, ke tempat matahari terbit. Seolah mengingatkan; akan ada harapan masa depan gilang gemilang bagi bangsa INDONESIA! Harapan itu akan selalu terbit, dan selalu membawa pembaruan. Apalagi di bulan Agustus ini, patung itu seperti kembali memantikkan semangat mengisi perjuangan.
Yukkk, sahabat! Jika sempat, luangkan waktumu ke Magelang dan berkunjung ke aloon-aloon Magelang. Nikmatilah indah dan sejuknya aura KOTA SEJUTA BUNGA..!!